Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku mencari Engkau, jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair. Demikianlah aku memandang kepada-Mu di tempat kudus, sambil melihat kekuatan-Mu dan kemuliaan-Mu. Sebab kasih setia-Mu lebih baik dari pada hidup; bibirku akan memegahkan Engkau. Demikianlah aku mau memuji Engkau seumur hidupku dan menaikkan tanganku demi nama-Mu.
Seperti dengan lemak dan sumsum jiwaku dikenyangkan, dan dengan bibir yang bersorak-sorai mulutku memuji-muji. Apabila aku ingat kepada-Mu di tempat tidurku, merenungkan Engkau sepanjang kawal malam, sungguh Engkau telah menjadi pertolonganku, dan dalam naungan sayap-Mu aku bersorak-sorai. Jiwaku melekat kepada-Mu, tangan kanan-Mu menopang aku. Tetapi orang-orang yang berikhtiar mencabut nyawaku, akan masuk ke bagian-bagian bumi yang paling bawah. Mereka akan diserahkan kepada kuasa pedang, mereka akan menjadi makanan anjing hutan. Tetapi raja akan bersukacita di dalam Allah; setiap orang, yang bersumpah demi Dia, akan bermegah, karena mulut orang-orang yang mengatakan dusta akan disumbat - Mazmur 63
Panggilan El Shaddai
Saya menyukai tulisan Raja Daud! Di tengah badai menerpa, ia mengetahui bahwa Allah layak untuk dipuji. Jelas bahwa ketika ia menulis kata-kata ini, ia berada di tempat yang penuh luka dan kerinduan. Jiwa dan tubuh Daud rindu untuk “meminum” Allah lebih dalam lagi. Tapi, di tengah kerinduannya ini, ia mengingat masa-masa dimana ia telah “melihat” kuasa dan kemuliaan Allah. Ia menguatkan dirinya dengan kebenaran akan siapa Allah sebenarnya dan faktanya ialah bahwa Allah terus ada di sana untuk menolongnya.
Saat saya membaca Mazmur 68, saya memperhatikan bahwa inilah panggilan bagi mereka yang haus akan kerinduan akan Allah lebih dalam lagi: “Mari, minumlah; engkau takkan dikecewakan!”
Panggilan El Shaddai
Saya menyukai tulisan Raja Daud! Di tengah badai menerpa, ia mengetahui bahwa Allah layak untuk dipuji. Jelas bahwa ketika ia menulis kata-kata ini, ia berada di tempat yang penuh luka dan kerinduan. Jiwa dan tubuh Daud rindu untuk “meminum” Allah lebih dalam lagi. Tapi, di tengah kerinduannya ini, ia mengingat masa-masa dimana ia telah “melihat” kuasa dan kemuliaan Allah. Ia menguatkan dirinya dengan kebenaran akan siapa Allah sebenarnya dan faktanya ialah bahwa Allah terus ada di sana untuk menolongnya.
Saat saya membaca Mazmur 68, saya memperhatikan bahwa inilah panggilan bagi mereka yang haus akan kerinduan akan Allah lebih dalam lagi: “Mari, minumlah; engkau takkan dikecewakan!”
Jika engkau sedang merasa berada di tanah yang kering dan gersang, peganglah “piala pujian” mu dan biarkan isinya tumpah ke atas kakiNya. Saya yakin bahwa, sebaliknya, engkau akan mendapati bahwa pialamu dipenuhi kembali dengan semua yang engkau butuhkan dariNya! Allah mengundang MempelaiNya ke suatu tempat untuk turut ambil bagian bersamaNya. Kerinduan yang mendalam menghasilkan penyerahan diri yang telah membebaskan umatNya dari hal-hal yang menahan mereka untuk mendapati bahwa kepuasan mereka ada di dalamNya.
Seorang ibu yang sedang menyusui takkan menyerahkan bayinya untuk disusui oleh orang lain, karena ia rindu akan keintiman saat-saat hangat ini bersama bayinya yang dipuaskan dengan makanan yang disediakan olehnya selama menyusui sang bayi. Allah, El Shaddai (“mereka yang disusui”), seperti itu terhadap kita. Meski banyak dari kita bukan lagi bayi yang sedang menyusui, Ia tetap rindu untuk menyusui kita seperti seorang ibu dengan bayinya, dan kecemburuanNya timbul ketika orang lain mencoba untuk memberi makan dan memelihara kita dengan makanan yang takkan pernah memuaskan kita. Allah Sang Pemelihara mengundang kita untuk makan dan minum kekayaan kasih dan hadiratNya, kuasa dan kemuliaanNya.
Suatu Penglihatan Akan Meja Perjamuan
Saya dan suami saya suka pergi ke pantai tertentu di pantai California Utara untuk menghabiskan waktu bersama Allah. Tempat ini menjadi suatu tempat pewahyuan bagi kami. Kemanapun kami pergi, kami menemukan bahwa Ia menanti untuk dapat berbicara langsung dengan kami. Minggu lalu kami mengambil satu hari untuk pergi ke sana, dan saat kami tiba di sana, saya sadar bahwa kami berada di suatu tempat di dalam roh. Meski mata jasmani saya melihat Samudera Pasifik yang luas, mata rohani saya sadar bahwa kami sedang duduk di meja perjamuan Allah.
Saat saya sadar akan hal ini, saya melihat Bapa berdiri di depan meja. Ia mengangkat gelas dan mengetuk sendok atasnya untuk menarik perhatian kepadaNya. Meja ini luas sekali, tapi semua perhatian hadirin tertuju padaNya. Lalu Bapa mulai memperkenalkan saya dan suami saya pada semua tamu yang hadir dan meminta kami untuk berdiri. Saat kami berdiri, Bapa berkata, “Akulah Ia yang menyediakan semua keinginan hatimu. Apakah yang engkau inginkan?”
Bahkan meski secara fisik kami duduk di pantai, roh kami berdiri di meja perjamuanNya. Kami menjadi diam dan memilih perkataan kami dengan seksama, mengingat apa yang Salomo minta, apa yang Ester minta, dan apa yang Hana minta. Melalui pengalaman ini, saya menjadi tajam untuk menyadari bahwa Allah sedang “menyiapkan meja bagi kita di hadapan lawan-lawan kita.” Inilah pengalaman pertama kami berada di meja perjamuan Tuhan ini.
Pengalaman ini telah mengubah hidup saya. Sepertinya saya memakan sukacita hari itu. Saya begitu bersukacita hanya dengan mengetahui bahwa saya duduk di mejaNya, saya hampir tak dapat berbicara. Saya sadar bahwa Ia telah mengetahui semua hasrat dan kerinduan saya, tapi Ia menghargai kami dengan mengijinkan kami untuk mengutarakannya dihadapan tamu yang hadir. Saya tak pernah merasa begitu seperti menjadi anakNya selain saat itu, dan saya tak pernah merasa begitu yakin seperti saat itu akan kasih dan janji-janjiNya bagi hidup saya. Di saat itu Bapa lebih banyak berbicara perihal kerinduan-kerinduanNya dibanding kerinduan kita! Itu adalah saat-saat “roh kepada roh” dimana engkau tak dapat menguraikannya dengan kata-kata, saat dimana keinginanmu dengan keinginanNya…menjadi satu.
TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah. Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa – Mazmur 23
Saat ini saya menjadi lebih peka bahwa kebaikan dan kasihNya akan mengikuti saya setiap hari. Meski ada situasi-situasi dan musuh-musuh yang bangkit melawan saya, saya dapat meyakinkan diri saya untuk “tidak takut bahaya.”
Perlindungan Puji-pujian
Dibanding saat-saat yang lalu, saat ini saya terus mendengar, “Pujian, pujian, pujian!” Saya mendapati diri saya menghabiskan waktu doa saya di dalam pujian. Kapanpun suatu kebutuhan atau permintaan doa muncul, saya membuka mulut saya dan, bukannya berdoa syafaat untuk permintaan tertentu seperti biasa, saya mendapati bahwa pujianlah yang muncul. Setelah memuji, beban doa akan terangkat dan saya merasa yakin bahwa jawaban doa saya akan muncul.
Saya menanyakan hal ini pada Allah dan Ia membawa saya ke suatu penglihatan yang indah yang saya harap akan menolongmu juga. Di dalamnya saya melihat suatu kebun pohon ceri yang sangat besar. Pohon-pohonnya lebat, belum cukup matang tapi sudah mendekati tahap menuai. Saya yakin bahwa inilah saatnya saat cacing di tanah dan burung di udara menyerang dan memakannya.
Lalu saya melihat pujian muncul dari kebun itu (seakan-akan pepohonan memuji), dan saat pujian dilepaskan, banyak malaikat turun dan mengumpulkan tuaian di dalam jaring di langit. Saat jaring diisi, para malaikat melepaskan “pujian” kembali ke atas kebun; seperti pestisida yang melawan hal-hal yang dapat merusak buah-buahan. Jaring itu (yang mungkin adalah sayap para malaikat) melindungi pepohonan dari burung-burung yang akan memakan buahnya. Pujian menjadi kunci untuk melindungi tuaian. Pujian ibarat “pestisida” yang melawan musuh-musuh Allah.
Dalam 2 Tawarikh 20 kita membaca kisah banyaknya pasukan yang hendak melawan Yosafat. Yosafat mencari Allah, bersama para penduduk Yehuda dan Yerusalem, untuk mencari tahu apa yang harus mereka lakukan dan meminta pertolongan Allah. Inilah jawaban Allah:
“Camkanlah, hai seluruh Yehuda dan penduduk Yerusalem dan tuanku raja Yosafat, beginilah firman TUHAN kepadamu: Janganlah kamu takut dan terkejut karena laskar yang besar ini, sebab bukan kamu yang akan berperang melainkan Allah. Besok haruslah kamu turun menyerang mereka. Mereka akan mendaki pendakian Zis, dan kamu akan mendapati mereka di ujung lembah, di muka padang gurun Yeruel. Dalam peperangan ini tidak usah kamu bertempur. Hai Yehuda dan Yerusalem, tinggallah berdiri di tempatmu, dan lihatlah bagaimana TUHAN memberikan kemenangan kepadamu. Janganlah kamu takut dan terkejut. Majulah besok menghadapi mereka, TUHAN akan menyertai kamu.” – 2 Tawarikh 20:15-17
Raja Yosafat yakin bahwa Allah telah berbicara melalui para nabi! Inilah yang terjadi keesokan harinya:
Setelah ia berunding dengan rakyat, ia mengangkat orang-orang yang akan menyanyi nyanyian untuk TUHAN dan memuji TUHAN dalam pakaian kudus yang semarak pada waktu mereka keluar di muka orang-orang bersenjata, sambil berkata:
“Nyanyikanlah nyanyian syukur bagi TUHAN, bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya!” Ketika mereka mulai bersorak-sorai dan menyanyikan nyanyian pujian, dibuat TUHANlah penghadangan terhadap bani Amon dan Moab, dan orang-orang dari pegunungan Seir, yang hendak menyerang Yehuda, sehingga mereka terpukul kalah. Lalu bani Amon dan Moab berdiri menentang penduduk pegunungan Seir hendak menumpas dan memunahkan mereka. Segera sesudah mereka membinasakan penduduk Seir, mereka saling bunuh-membunuh. Ketika orang Yehuda tiba di tempat peninjauan di padang gurun, mereka menengok ke tempat laskar itu. Tampaklah semua telah menjadi bangkai berhantaran di tanah, tidak ada yang terluput. – 2 Tawarikh 20:21-24
Saya suka sekali kisah ini! Kisah ini tidak sekedar kisah lama, tapi juga kisah kita di masa kini. Tak hanya semua musuh dimusnahkan, namun juga Raja Yosafat dan semua rakyat Yehuda memerlukan waktu selama tiga hari untuk mengangkut semua barang jarahan! Saat ini, seperti nabi masa itu, yang berbicara di hadapan Yosafat, kembali berbicara dan bernubuat atas kita di masa kini, agar kita berdiri dan melihat keselamatan dari Allah demi kita saat kita menujiNya.
Inilah waktunya untuk menaruh kepercayaan kita kepada Allah kita dan untuk percaya akan kata-kata yang kembali diucapkanNya, “Jangan takut!”
Bernyanyilah bagi Allah dan pujilah Ia untuk kebaikanNya! Sebab kasih setiaNya untuk selamanya! - Kathi Pelton
No comments:
Post a Comment